REMAJA DAN PERMASALAHANNYA
MASA REMAJA
Masa remaja merupakan
masa dimana seorang
individu mengalami peralihan dari
satu tahap ke
tahap berikutnya dan
mengalami perubahan baik emosi,
tubuh, minat, pola
perilaku, dan juga
penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh
karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni
masalah psikis atau
kejiwaan yang timbul
sebagai akibat terjadinya
perubahan sosial (TP-KJM, 2002).
Masa remaja
merupakan sebuah periode
dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun
peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap
sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau
batasan untuk pengkategorian remaja
sebab usia pubertas
yang dahulu terjadi pada
akhir usia belasan
(15-18) kini terjadi
pada awal belasan bahkan sebelum
usia 11 tahun.
Seorang anak berusia
10 tahun mungkin
saja sudah (atau sedang)
mengalami pubertas namun
tidak berarti ia
sudah bisa dikatakan sebagai
remaja dan sudah
siap menghadapi dunia
orang dewasa. Ia belum
siap menghadapi dunia
nyata orang dewasa,
meski di saat
yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan
balita yang perkembangannya dengan jelas
dapat diukur, remaja
hampir tidak memiliki
pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya seringkali
mereka menjadi bingung
karena kadang-kadang
diperlakukan sebagai anak-anak
tetapi di lain
waktu mereka dituntut untuk
bersikap mandiri dan dewasa.
Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda
keremajaan, namun seringkali perubahan
itu hanya merupakan
suatu tanda-tanda fisik
dan bukan sebagai pengesahan
akan keremajaan seseorang.
Namun satu hal
yang pasti, konflik yang
dihadapi oleh remaja
semakin kompleks seiring
dengan perubahan pada berbagai
dimensi kehidupan dalam
diri mereka. Untuk
dapat memahami remaja, maka
perlu dilihat berdasarkan
perubahan pada dimensi-dimensi tersebut .
Dimensi Biologis
Pada saat seorang
anak memasuki masa
pubertas yang ditandai
dengan menstruasi pertama pada
remaja putri atau
pun perubahan suara
pada remaja putra, secara
biologis dia mengalami
perubahan yang sangat
besar. Pubertas menjadikan
seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi. Pada masa
pubertas, hormon seseorang
menjadi aktif dalam
memproduksi dua jenis hormon
(gonadotrophins atau gonadotrophic hormones)
yang berhubungan dengan pertumbuhan,
yaitu: 1) Follicle-Stimulating
Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut
merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon
kewanitaan. Pada anak
lelaki, Luteinizing
hormone yang juga
dinamakan Interstitial-Cell
Stimulating Hormone (ICSH)
merangsang pertumbuhan testosterone.
Pertumbuhan secara
cepat dari hormon-hormon
tersebut di atas
merubah sistem biologis seorang
anak. Anak perempuan
akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem
reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik
seperti payudara mulai
berkembang, dll. Anak
lelaki mulai memperlihatkan
perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya
hormon testosterone. Bentuk
fisik mereka akan
berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada
dunia remaja.
Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang
ahli perkembangan kognitif) merupakan
periode terakhir dan
tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of
formal operations). Pada periode
ini, idealnya para
remaja sudah memiliki
pola pikir sendiri dalam
usaha memecahkan masalah-masalah yang
kompleks dan abstrak.
Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga
mereka dengan mudah dapat
membayangkan banyak alternatif
pemecahan masalah beserta kemungkinan
akibat atau hasilnya.
Kapasitas berpikir
secara logis dan abstrak
mereka berkembang sehingga
mereka mampu berpikir
multi-dimensi seperti
ilmuwan. Para remaja
tidak lagi menerima
informasi apa adanya,
tetapi mereka akan memproses
informasi itu serta mengadaptasikannya dengan
pemikiran mereka sendiri.
Mereka juga mampu
mengintegrasikan pengalaman masa
lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan
rencana untuk masa
depan. Dengan kemampuan
operasional formal ini,
para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk
Indonesia) masih sangat banyak remaja
(bahkan orang dewasa)
yang belum mampu
sepenuhnya mencapai tahap perkembangan
kognitif operasional formal
ini. Sebagian masih tertinggal pada
tahap perkembangan sebelumnya,
yaitu operasional konkrit, dimana pola
pikir yang digunakan
masih sangat sederhana
dan belum mampu melihat
masalah dari berbagai
dimensi. Hal ini
bisa saja diakibatkan
sistem pendidikan di Indonesia
yang tidak banyak
menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan
kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak.
penyebab lainnya bisa
juga diakibatkan oleh
pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan
remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak
memiliki keleluasan dalam
memenuhi tugas perkembangan
sesuai dengan usia dan
mentalnya. Semestinya, seorang
remaja sudah harus
mampu mencapai tahap pemikiran
abstrak supaya saat
mereka lulus sekolah
menengah, sudah terbiasa berpikir
kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
Dimensi Moral
Masa remaja adalah
periode dimana seseorang
mulai bertanya-tanya mengenai
berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan
nilai diri mereka.
Elliot Turiel (1978)
menyatakan bahwa para remaja
mulai membuat penilaian
tersendiri dalam menghadapi
masalah-masalah populer yang
berkenaan dengan lingkungan
mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang,
keadaan sosial, dsb.
Remaja tidak lagi
menerima hasil pemikiran yang
kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa
bantahan. Remaja mulai
mempertanyakan keabsahan pemikiran
yang ada dan mempertimbangan lebih
banyak alternatif lainnya. Secara kritis,
remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan
membandingkannya dengan hal-hal yang selama
ini diajarkan dan
ditanamkan kepadanya. Sebagian
besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain
di luar dari yang selama
ini diketahui dan dipercayainya. Ia
akan melihat bahwa
ada banyak aspek
dalam melihat hidup dan
beragam jenis pemikiran
yang lain. Baginya
dunia menjadi lebih luas dan
seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu
lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning)
pada remaja berkembang karena mereka
mulai melihat adanya
kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang
mereka percayai dahulu dengan
kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan
merekonstruksi pola pikir dengan
“kenyataan” yang baru.
Perubahan inilah yang
seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja
terhadap peraturan atau
otoritas yang selama ini
diterima bulat-bulat. Misalnya,
jika sejak kecil
pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang
mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.
Pada masa remaja
ia akan mempertanyakan mengapa
dunia sekelilingnya membiarkan
korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam
suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu
saja akan menimbulkan konflik nilai
bagi sang remaja.
Konflik nilai dalam
diri remaja ini
lambat laun akan menjadi
sebuah masalah besar,
jika remaja tidak
menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan
remaja untuk tidak
lagi mempercayai nilai-nilai
yang ditanamkan oleh orangtua
atau pendidik sejak
masa kanak-kanak akan
sangat besar jika orangtua
atau pendidik tidak
mampu memberikan penjelasan
yang logis, apalagi jika
lingkungan sekitarnya tidak
mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam
memberikan alternatif jawaban dari hal-hal
yang dipertanyakan oleh
putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih
dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa
berpikir lebih jauh
dan memilih yang
terbaik. Orangtua yang
tidak mampu memberikan penjelasan
dengan bijak dan
bersikap kaku akan
membuat yang remaja tambah
bingung. Remaja tersebut
akan mencari jawaban
di luar lingkaran orangtua
dan nilai yang
dianutnya. Ini bisa
menjadi berbahaya jika
“lingkungan baru” memberi
jawaban yang tidak
diinginkan atau bertentangan dengan yang
diberikan oleh orangtua.
Konflik dengan orangtua
mungkin akan mulai menajam.
Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan
masa yang penuh
gejolak. Pada masa
ini mood (suasana hati) bisa
berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi
Csikszentmihalyi dan Reed
Larson (1984) menemukan
bahwa remaja rata-rata memerlukan
hanya 45 menit
untuk berubah dari
mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa
memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama.
Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali
dikarenakan beban pekerjaan rumah,
pekerjaan sekolah, atau kegiatan
sehari-hari di rumah. Meski
mood remaja yang
mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu
merupakan gejala atau masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan
yang dramatis dalam
kesadaran diri mereka
(self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain
karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu
mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri
mereka sendiri. Anggapan
itu membuat remaja
sangat memperhatikan diri mereka
dan citra yang
direfleksikan (self-image). Remaja
cenderung untuk menganggap
diri mereka sangat
unik dan bahkan
percaya keunikan mereka akan
berakhir dengan kesuksesan dan
ketenaran. Remaja putri akan
bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik
dan tertarik pada
kecantikannya, sedang remaja
putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya
jika ia terlihat unik dan “hebat”.
Pada usia 16
tahun ke atas,
keeksentrikan remaja akan
berkurang dengan sendirinya jika
ia sering dihadapkan dengan dunia nyata.
Pada saat itu, Remaja akan
mulai sadar bahwa orang lain
tenyata memiliki dunia
tersendiri dan tidak selalu
sama dengan yang
dihadapi atau pun
dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa
mereka selalu diperhatikan
oleh orang lain
kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan
dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka
dengan kenyataan.
Para remaja juga
sering menganggap diri
mereka serba mampu,
sehingga seringkali mereka terlihat
“tidak memikirkan akibat”
dari perbuatan mereka.
Tindakan impulsif sering
dilakukan; sebagian karena
mereka tidak sadar
dan belum biasa memperhitungkan akibat
jangka pendek atau
jangka panjang. Remaja
yang diberi kesempatan
untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka, akan
tumbuh menjadi orang
dewasa yang lebih
berhati-hati, lebih percaya-diri, dan
mampu bertanggung-jawab. Rasa
percaya diri dan
rasa tanggung-jawab inilah yang
sangat dibutuhkan sebagai
dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian
positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua
sangat dibutuhkan oleh
remaja sebagai acuan
bagaimana menghadapi masalah itu
sebagai “seseorang yang
baru”; berbagai nasihat
dan berbagai cara akan
dicari untuk dicobanya.
Remaja akan membayangkan
apa yang akan dilakukan oleh
para “idola”nya untuk
menyelesaikan masalah seperti
itu.
Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi
remaja Dari beberapa dimensi
perubahan yang terjadi
pada remaja seperti
yang telah dijelaskan diatas maka terdapat kemungkinan – kemungkinan
perilaku yang bisa terjadi pada masa ini. Diantaranya adalah perilaku yang
mengundang resiko dan berdampak negative
pada remaja. Perilaku
yang mengundang resiko
pada masa remaja misalnya
seperti penggunaan alcohol,
tembakau dan zat
lainnya;
aktivitas social yang
berganti – ganti
pasangan dan perilaku
menentang bahaya seperti balapan, selancar udara, dan layang gantung
(Kaplan dan Sadock, 1997).
Alasan perilaku yang
mengundang resiko adalah
bermacam – macam
dan berhubungan dengan dinamika
fobia balik (
conterphobic dynamic ),
rasa takut dianggap tidak
cakap, perlu untuk
menegaskan identitas maskulin dan dinamika kelompok seperti tekanan teman
sebaya.
PROBLEMATIKA REMAJA
A. MEROKOK
Di masa modern
ini, merokok merupakan suatu
pemandangan yang sangat tidak asing. Kebiasaan merokok
dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun dilain pihak dapat
menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang – orang
disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan
dampak negatif bagi tubuh penghisapnya.
Beberapa motivasi yang melatarbelakangi seseorang merokok
adalah untuk mendapat pengakuan (anticipatory
beliefs), untuk menghilangkan
kekecewaan ( reliefing beliefs),
dan menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar norma ( permissive
beliefs/ fasilitative) (Joewana, 2004). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokok
yang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan didepan orang lain, terutama
dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat tertarik kepada kelompok
sebayanyaatau dengan kata lain terikat dengan kelompoknya.
Penyebab Remaja Merokok
1. Pengaruh 0rang tua
Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa
anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang
tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang
keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal
dari lingkungan rumah tangga yang bahagia (Baer & Corado dalam Atkinson,
Pengantar psikologi, 1999:294).
2. Pengaruh teman.
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja
merokok maka semakin besar kemungkinan
teman-temannya adalah perokok
juga dan demikian sebaliknya.
Dari fakta tersebut
ada dua kemungkinan
yang terjadi, pertama remaja
tadi terpengaruh oleh
teman-temannya atau bahkan
teman-teman remaja tersebut
dipengaruhi oleh diri
remaja tersebut yang
akhirnya mereka semua menjadi
perokok. Diantara remaja
perokok terdapat 87% mempunyai
sekurang-kurangnya satu atau
lebih sahabat yang
perokok begitu pula dengan remaja
non perokok (Al Bachri, 1991)
3. Faktor Kepribadian.
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau
ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari
kebosanan. Namun satu sifat kepribadian
yang bersifat prediktif
pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok)
ialah konformitas sosial.
Orang yang memiliki
skor tinggi pada berbagai
tes konformitas sosial
lebih mudah menjadi
pengguna
dibandingkan
dengan mereka yang
memiliki skor yang rendah (Atkinson, 1999).
4. Pengaruh Iklan.
Melihat iklan di
media massa dan
elektronik yang menampilkan
gambaran bahwa perokok adalah
lambang kejantanan atau
glamour, membuat remaja
seringkali terpicu untuk
mengikuti perilaku seperti
yang ada dalam
iklan tersebut. (Mari Juniarti, Buletin RSKO, tahun IX,1991).
B. PENYIMPANGAN SEKS
Kita telah ketahui
bahwa kebebasan bergaul
remaja sangatlah diperlukan agar mereka tidak
"kuper" dan "jomblo" yang biasanya jadi anak mama.
"Banyak teman maka banyak pengetahuan". Namun tidak semua teman kita
sejalan dengan apa yang kita
inginkan. Mungkin mereka
suka hura-hura, suka
dengan yang berbau pornografi,
dan tentu saja
ada yang bersikap
terpuji.
benar agar kita
tidak terjerumus ke
pergaulan bebas yang
menyesatkan.
Masa remaja
merupakan suatu masa
yang menjadi bagian
dari kehidupan manusia yang di
dalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini akan sangat
berpengaruh terhadap pembentukan diri remaja itu sendiri. Masa remaja dapat
dicirikan dengan banyaknya
rasa ingin tahu
pada diri seseorang
dalam berbagai hal tidak terkecuali bidang seks Seiring dengan
bertambahnya usia seseorang,
organ reproduksipun mengalami perkembangan
dan pada akhirnya
akan mengalami kematangan.
Kematangan organ reproduksi
dan perkembangan psikologis
remaja yang mulai menyukai lawan jenisnya serta arus
media informasi baik elektronik maupun non elektronik akan
sangat berpengaruh terhadap
perilaku seksual individu
remaja tersebut.
Salah satu
masalah yang sering
timbul pada remaja
terkait dengan masa awal kematangan organ reproduksi pada
remaja adalah masalah kehamilan yang terjadi pada remaja diluar pernikahan.
Apalagi apabila Kehamilan tersebut terjadi pada
usia sekolah. Siswi
yang mengalami kehamilan
biasanya mendapatkan respon dari
dua pihak. Pertama
yaitu dari pihak
sekolah, biasanya jika
terjadi kehamilan pada siswi,
maka yang sampai
saat ini terjadi
adalah sekolah meresponya dengan
sangat buruk dan
berujung dengan dikeluarkannya siswi tersebut dari sekolah. Kedua yaitu dari
lingkungan di mana siswi tersebut tinggal, lingkungan akan
cenderung mencemooh dan
mengucilkan siswi tersebut.
Hal tersebut terjadi jika karena masih kuatnya nilai norma kehidupan
masyarakat kita.
Kehamilan remaja adalah isu yang saat ini mendapat perhatian
pemerintah. Karena masalah
kehamilan remaja tidak
hanya membebani remaja
sebagai individu dan bayi
mereka namun juga
mempengaruhi secara luas
pada seluruh strata di masyarakat
dan juga membebani sumber-sumber kesejahteraan. Namun, alasan-alasannya tidak
sepenuhnya dimengerti. Beberapa
sebab kehamilan termasuk
rendahnya pengetahuan tentang keluarga berencana, perbedaan budaya yang menempatkan
harga diri remaja
di lingkungannya, perasaan
remaja akan ketidakamanan atau
impulsifisitas, ketergantungan kebutuhan, dan keinginan yang sangat untuk
mendapatkan kebebasan.
Selain masalah kehamilan
pada remaja masalah
yang juga sangat menggelisahkan berbagai
kalangan dan juga
banyak terjadi pada
masa remaja adalah banyaknya
remaja yang mengidap HIV/AIDS
Data dan Fakta HIV/AIDS
Dilihat dari jumlah
pengidap dan peningkatan
jumlahnya dari waktu
ke waktu, maka dewasa
ini HIV (Human
Immunodeficiency Virus) dan
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) sudah dapat dianggap sebagai
ancaman hidup bagi masyarakat
Indonesia. Berdasarkan laporan
Departemen Kesehatan sampai Juni
2003 jumlah pengidap HIV/AIDS
atau ODHA (Orang
Yang Hidup Dengan HIV/AIDS)
di Indonesia adalah
3.647 orang terdiri
dari mengidap HIV 2.559 dan penderita AIDS 1.088 orang.
Dari jumlah tersebut, kelompok usia 15 -19 berjumlah 151 orang (4,14%); 19-24
berjumlah 930 orang (25,50%). Ini berarti bahwa
jumlah terbanyak penderita
HIV/AIDS adalah remaja
dan orang muda.
dari data tersebut, dilaporkan yang sudah meninggal karena
AIDS secara umum adalah 394 orang
(Subdit PMS &
AIDS, Ditjen PPM
& PL, Depkes
R.I.). Diperkirakan setiap hari ada 8.219 orang di dunia yang meninggal
karena AIDS, sedangkan di kawasan
Asia Pacific mencapai angka
1.192orang.
Data dan fakta
tersebut belum mencerminkan
keadaan yang sebenarnya, melainkan hanya
merupakan "puncak gunung
es", artinya, yang
kelihatan atau dilaporkan hanya
sedikit, sementara yang
tidak kelihatan atau
tidak dilaporkan jumlahnya
berkali-kali lipat. Para ahli memperkirakan bahwa jumlah sebenarnya bisa 100
kali lipat.
Remaja dan HIV/AIDS
Penularan virus HIV ternyata menyebar sangat cepat di
kalangan remaja dan kaum muda. Penularan HIV di Indonesia terutama terjadi
melalui hubungan seksual yang tidak
aman, yaitu sebanyak
2.112(58%) kasus. Dari
beberapa penelitian terungkap bahwa semakin lama semakin banyak remaja
di bawah usia 18 tahun yang
sudah melakukan hubungan
seks. Cara penularan
lainnya adalah melalui jarum
suntik (pemakaian jarum
suntik secara bergantian
pada pemakai narkoba, yaitu sebesar
815 (22,3%) kasus dan melalui transfusi darah 4 (0,10%) kasus). FKUl-RSCM
melaporkan bahwa lebih
dari 75% kasus
infeksi HIV di kalangan
remaja terjadi di
kalangan pengguna narkotika.
Jumlah ini merupakan kenaikan menyolok dibanding
beberapa tahun yang lalu.
Beberapa penyebab rentannya remaja terhadap HIV/AIDS adalah
:
1. Kurangnya informasi yang benar mengenai perilaku seks
yang aman dan upaya pencegahan yang bisa
dilakukan oleh remaja
dan kaum muda.
Kurangnya informasi ini disebabkan adanya nilai-nilai agama, budaya,
moralitas dan lain-lain, sehingga remaja
seringkali tidak memperoleh
informasi maupun pelayanan kesehatan
reproduksi yang sesungguhnya
dapat membantu remaja terlindung dari berbagai resiko, termasuk
penularan HIV/AIDS.
2. Perubahan
fisik dan emosional
pada remaja yang
mempengaruhi dorongan seksual.
Kondisi ini mendorong remaja untuk mencari tahu dan mencoba-coba sesuatu yang
baru, termasuk melakukan
hubungan seks dan
penggunaan narkoba.
3. Adanya
informasi yang menyuguhkan
kenikmatan hidup yang
diperoleh melalui seks, alkohol,
narkoba, dan sebagainya
yang disampaikan melalui berbagai media cetak atau elektronik.
4. Adanya tekanan dari teman sebaya untuk melakukan hubungan
seks, misalnya untuk membuktikan bahwa mereka adalah jantan.
5. Resiko
HIV/AIDS sukar dimengerti
oleh remaja, karena
HIV/AIDS mempunyai periode inkubasi
yang panjang, gejala
awalnya tidak segera terlihat.
6. Informasi mengenai penularan dan pencegahan HIV/AIDS
rupanya juga belum cukup menyebar di
kalangan remaja. Banyak
remaja masih mempunyai pandangan yang salah mengenai
HIV/AIDS.
7. Remaja pada umumnya
kurang mempunyai akses
ke tempat pelayanan kesehatan reproduksi dibanding
orang dewasa. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya remaja
yang terkena HIV/AIDS
tidak menyadari bahwa
mereka terinfeksi, kemudian menyebar ke remaja lain, sehingga sulit
dikontrol.
Sekian.